Bahis.com1xbet TürkiyeXumabettarafbetgiris.infoBetturkey GirişKralbet girişwiibet.comTipobet365Supertotobet girişSahabet GirişMatadorbet giriş
şişli escort

Buku, Budaya Arsip dan Kemajuan Bangsa

Sering orang bertanya mengapa untuk studi tentang negeri sendiri orang Indonesia harus pergi luar negeri? Mengapa untuk studi sejarah Indonesia, misalnya, kandidat doktor kita harus pergi ke Leiden, Belanda?

Jawaban dari pertanya itu jelas berkaitan dengan budaya buku dan arsip. Selama 350 tahun menjajah Indonesia, orang Belanda – para misionaris, pegawai Binnenlands Bestuur, guru, peneliti, petualang, jurutulis kapal, dll. – telah menulis dan mencatat banyak hal mengenai budaya dan masyarakat Indonesia. Mereka mendokumentasikan apa saja, mulai dari jenis-jenis semut dan cacing sampai kepada macam-macam permainan anak-anak, sejak dari aspek-aspek kebudayaan lokal Indonesia yang berwujud fisik seperti candi sampai kepada yang abstrak seperti mitos dan cerita rakyat. Semua itu dilakukan di atas kesadaran budaya keberaksaraan: bahwa sesuatu akan mudah terlupakan jika tidak dituliskan; bahwa sesuatu akan lebih mudah diingat dengan jalan membaca.

Leiden, kota kecil berpenduduk sekitar 100.000 jiwa di Belanda, tempat saya bermukim untuk sementara sekarang, adalah salah satu tempat penyimpanan banyak buku dan arsip mengenai Indonesia, termasuk Minangkabau. Di kalangan ilmuwan sosial dan humaniora, Leiden disebut sebagai ‘the Mecca of Indonesian studies’, lantaran kekayaan kepustakaan dari dua perpustakaan di kota itu yang penuh dengan berbagai buku, naskah, brosur, pamflet, majalah dan koran tua, sketsa, peta, surat-surat, foto, rekaman audio-visual dan lain sebagainya yang terkait dengan masa lalu dan masa kini Indonesia. Kedua perpustakaan itu adalah Universiteitsbiliootheek Leiden, universitas tertua di Belanda yang didirikan tahun 1575, dan di Koninklijk Instituut voor Taal,- Land- en Volkenkunde yang sering disingkat dengan KITLV Leiden.

Salah satu ciri penting bangsa yang maju adalah kuatnya tradisi membaca, mencatat dan menulis apapun, mengumpulkan benda-benda budaya, dan mengarsipkannya dengan rapi, bukan dari banyaknya penduduk dan pejabat publiknya yang mempunyai mobil dan BlackBerry. Belanda adalah sebuah contoh yang bagus dan perlu kita tiru. Tapi yang sering kita dengar hanyalah keluhan bahwa negeri sebesar dangkuang di Benua Eropa itu telah menghisap negeri kita dan (konon) telah mewariskan budaya korupsi kepada bangsa kita.

Bangsa Indonesia, baik rakyat maupun pemerintahnya, memiliki kesadaran arsip yang masih lemah. Jangankan untuk bilangan ratusan atau puluhan tahun ke belakang, arsip-arsip dalam bilangan belasan tahun yang lalu saja sering tidak lengkap dan tidak tertata dengan baik.

Tradisi pengarsipan kantor-kantor pemerintah sama lemahnya dengan instansi-instansi swasta. Misalnya, di mana kita bisa mendapatkan data arsip tentang jumlah penumpang dan bus ANS yang berangkat dari Padang ke Jakarta pada tahun 1991; edisi-edisi koran Haluan yang terbit sepanjang tahun 1952; jumlah kaset komersial yang diproduksi oleh Tanama Record dan Sinar Padang tahun 1978; dan jumlah wartel di Sumatra Barat Padang tahun 1987. Kondisinya tentu lebih parah lagi jika kita menyebut data-data yang lebih awal lagi.

Bangsa yang mempunya budaya arsip yang tinggi akan selalu menganggap penting hal-hal yang mungkin dipandang orang remeh temeh dan tak bermanfaat. Sebab apa saja sebenarnya bermanfaat untuk kepentingan ilmu. Contohnya, pengarsipan surat-surat pribadi yang dilakukan oleh seseorang. Orang Belanda, baik pejabat maupun orang biasa, selalu membuat duplikat surat-surat yang dikirimkannya kepada orang lain, dan selalu menyimpan surat-surat yang diterima dari orang lain. Biasanya surat-surat itu akan diserahkan oleh keluarga ke perpustakaan untuk disimpan jika orang itu sudah meninggal. Banyak pejabat publik di Belanda yang dengan sadar menyerahkan arsip-arsip (tertulis dan visual) tentang dirinya dan yang dimilikinya kepada perpustakaan. Mereka sadar betul bahwa bahan-bahan itu penting bagi ilmu pengetahuan di masa depan. Materi-materi seperti itu sulit kita temukan di perpustakaan-perpustakaan Indonesia. Apakah tradisi pengarsipan surat-surat pribadi itu ada dalam kesadaran kita? Silakan kita tanya sendiri diri kita masing-masing.

Kesadaran menulis para pejabat publik kita memang masih sangat rendah. Di zaman kolonial dulu, para Tuan Kontrolir (controleur) mencatat apa saja yang ada di lungkungan wilayah yang menjadi tanggung jawab mereka. Mereka mempunyai buku harian yang mencatat aktifitas mereka hari per hari. Di zaman sekarang, jangankan seorang wali nagari, seorang walikota atau gubernur saja jarang menulis memoar dan catatan harian. Begitu ia lengser dari jabatannya, generasi mendatang hanya dapat menangkap angin tentang perspektif pejabat publik itu selama periode pemerintahannya, karena ia tidak meninggalkan catatan tertulis apa pun untuk masyarakatnya.

Bangsa yang memiliki kesadaran arsip yang tinggi pasti menghargai buku dan dokumen budaya apapun, dan dengan demikian pasti mereka menghargai perpustakaan. Ini akan membawa konsekuensi kausalitas: bangsa itu akan suka membaca.

Kesadaran yang tinggi tentang kearsipan telah menyebabkan isi perpustakaan di negara-negara maju relatif berbeda dengan perpustakaan-perpustakaan di negara berkembang yang sering lebih diidentikkan dengan buku saja. Sebagai ilustrasi, di Pepustakaan KITLV Leiden, misalnya, tersimpan eksemplar surat undangan palewaan gala datuak untuk almarhum Tan Malaka dan piringan-piringan hitam lagu-lagu Indonesia dari zaman ‘mesin bicara’. Apakah di Perpustakaan Universitas Andalas, misalnya, kita dapat menemukan kaset-kaset dan VCD kaba dan lagu-lagu pop Minang dan edisi-edisi koran Mimbar Minang yang dulu pernah terbit di Padang?

Perpustakaan di sebuah wilayah di negara kita, khususnya perpustakaan-perpustakaan di perguruan tinggi, pertama-tama mestinya berfungsi menjadi ‘bank’ data sosial dan budaya setempat. Syukur apabila perpustakaan-perpustakaan tersebut dapat memperkaya koleksinya dengan buku-buku dan bahan tertulis lainnya tentang budaya dan masyarakat lain.

Kenyataannya sampai sekarang perpustakaan-perpustakaan umum dan perguruan tinggi kita masih belum mampu memenuhi fungsi itu. Perpustakaan-perpustakaan kita boleh dibilang miskin – miskin isi, miskin tenaga profesional untuk mengelolanya, meskipun sebenarnya tidak begitu miskin dalam hal dana. Namun, jika ditelusuri lebih ke hulu, akar kemiskinan perpustakaan-perpustakaan kita itu sebenarnya disebabkan oleh miskinnya visi negara tentang pencerdasan bangsa.

Kita tidak harus berpangku tangan saja menghadapi fenomena ini. Pihak-pihak swasta dan perorangan harus berupaya pula untuk meningkatkan kesadaran membaca dan menulis bangsa kita dan kesadaran untuk mengarsipkan segala sesuatu, baik yang terkait dengan diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Gerakan wakaf buku yang digerakkan oleh Komunitas Padang Membaca (lih.: Dedy Arsya, ‘Perpustakaan di Padang Masa Kolonial’, Padang Ekspres, Minggu, 12-06-2011) adalah salah satu contoh yang patut ditiru dan disokong secara moral dan finansial.

Kelemahan banyak perpustakaan kita adalah pada miskinnya bibliografi sumber-sumber pertama (naskah, koran, majalah, pamflet, brosur, foto, materi-materi audio visual, dll.). Sebaliknya, kekayaan sumber-sumber pertama (bronnen) inilah yang menjadi ciri khas perpustakaan di negara-negara maju. Banyak sumber-sumber pertama tentang negeri, budaya dan bangsa kita sendiri justru tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di luar negeri dan, anehnya, malah sering sulit mendapatkannya di perpustakaan-perpustakaan dalam negeri sendiri. Demikianlah umpamanya arsip koran Haluan yang terlengkap sejak terbitnya di akhir tahun 1940-an justru tersimpan di KITLV Leiden (Belanda) dan Perpustakaan Cornell University (AS), bukan di Perpustakaan Universitas Andalas dan UNP di Padang. Coba kita saling membaui ujung telunjuk sekarang, di mana generasi sarjana kita 50 tahun yang akan datang dapat menemukan arsip lengkap Padang Ekspres dan koran-koran lainnya yang terbit di Sumatra Barat?

Apa yang hendak saya katakan adalah bahwa kita harus cepat sadar mengenai kekeliruan yang sudah kita buat selama ini: mengabaikan sumber-sumber pertama dan data-data arsip lainnya dan tak berusaha menyimpannya di perpustakaan-perpustakaan di dalam negeri sendiri. Jika tidak juga sadar, jangan terus ngomel bahwa para calon doktor kita di masa depan harus tetap pergi ke luar negeri untuk mengumpulkan data untuk penulisan disertasi mereka.

Rasanya kita tidaklah rugi kalau mau meniru bagaimana perilaku bangsa-bangsa maju dalam menghargai dan merawat berbagai jenis dokumen, khususnya yang sudah klasik, baik berupa buku, surat-surat korespondensi pribadi dan resmi, schoolschriften, foto, sketsa dan lukisan, koran, brosur, pamflet, peta, dan lain sebagainya.

Perspektif para pustakawan kita juga harus diubah: mereka harus tahu bahwa untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia ilmiah, sebuah buku tebal yang baru diterbitkan oleh penerbit terkenal sama pentingnya dengan sebuah kaset pertunjukan salawaik dulang yang pernah diproduksi oleh sebuah perusahaan rekaman di Padang sepuluh tahun yang lalu. Kedua jenis dokumen itu semestinya disimpan di perpustakaan-perpustakaan kita. Artinya, mulai sekarang perpustakaan kita harus lebih bervariasi isinya dari tidak hanya sekedar berisi buku-buku dan diktat-diktat kuliah bikinan para dosen.

Kesadaran akan pentingnya membaca, mendokumentasikan, dan mengarsipkan segala sesuatu berbanding lurus dengan tingkat kemajuan sebuah bangsa. Dan kemajuan sebuah bangsa juga tercermin dari sistem administrasi nasionalnya yang tertib, yang pada gilirannya juga akan melahirkan budaya arsip yang rapi.

Dimanakah posisi kita kini? Silakan masing-masing kita membatin, sebaiknya sambil memegang buku dan pena.

Suryadi, Penikmat perpustakaan dan dosen/peneliti di Leiden University Institut for Area Studies (LIAS), Belanda

** Esai untuk diskusi bertema “Buku; Gerakan Membaca dan Arsip (Sebuah Dialog menjadi Bangsa yang Membaca Arsip)” , diselenggarakan oleh Komunitas Padang Membaca, Museum Adityawarman, Padang, Minggu, 17 Juli 2011.

Leave a reply

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>